Sejarah Hagia Sophia (Aya Sofya) Beserta Fase Transisi Perubahan Hagia Sophia Dari Berbagai Rezim. | Berbagai Reviews

Kumpulan Artikel Pendidikan Pengetahuan dan Wawasan Dunia

17 Juli 2020

Sejarah Hagia Sophia (Aya Sofya) Beserta Fase Transisi Perubahan Hagia Sophia Dari Berbagai Rezim.

| 17 Juli 2020

aya sofya history


Jutaan turis setiap tahun mengunjungi Hagia Sophia ketika masih menjadi museum. Ada sejarah panjang di balik bangunan eksotis dan megah. Selama 15 abad terakhir, Hagia Sophia diperebutkan. Agama besar dunia, Islam, Kristen dan Katolik silih berganti menggunakan bangunan bersejarah di Istanbul. Dua kekaisaran besar beririsan di Hagia Sophia antara Bizantium Kristen dengan Ottoman Muslim.


Sejarah Hagia Shopia (Aya Sofia).

Hagia Sophia atau Aya Sofya (dari bahasa Yunani: Ἁγία Σοφία Bizantium Yunani [aˈʝia soˈfia]; bahasa Latin: Sancta Sophia atau Sancta Sapientia; bahasa Arab: آيا صوفيا; "Kebijaksanaan Suci") adalah sebuah tempat ibadah di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya pada tahun 537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib Keempat menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel.

Bangunan ini menjadi masjid mulai 29 Mei 1453 sampai 1931 pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani. Kemudian bangunan ini disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki. Namun menjadi masjid kembali pada Jumat, 10 Juli 2020 setelah pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal. Keputusan ini membuka jalan untuk kembali mengubah monumen tersebut menjadi masjid. Terkenal akan kubah besarnya, Hagia Sophia dipandang sebagai lambang arsitektur Bizantium dan dikatakan "telah mengubah sejarah arsitektur."Bangunan ini tetap menjadi katedral terbesar di dunia selama hampir seribu tahun sampai Katedral Sevilla diselesaikan pada tahun 1520.

Bangunan yang sekarang ini awalnya dibangun sebagai sebuah gereja antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I dan merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang sama, dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.

Gereja ini dipersembahkan kepada Kebijaksanaan Tuhan, sang Logos, pribadi kedua dari Trinitas Suci, pesta peringatannya diadakan setiap 25 Desember untuk memperingati kelahiran dari inkarnasi Logos dalam diri Kristus. Walaupun sesekali disebut sebagai Sancta Sophia (seolah dinamai dari Santa Sophia), sophia sebenarnya pelafalan fonetis Latin dari kata Yunani untuk kebijaksanaan. Nama lengkapnya dalam bahasa Yunani adalah Ναὸς τῆς Ἁγίας τοῦ Θεοῦ Σοφίας, Naos tēs Hagias tou Theou Sophias, "Tempat Peziarahan Kebijaksaan Suci Tuhan".

Pada 1453 M, Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, yang kemudian memerintahkan pengubahan gereja utama Kristen Ortodoks menjadi masjid. Dikenal sebagai Aya Sofya dalam ejaan Turki, bangunan yang berada dalam keadaan rusak ini memberi kesan kuat pada penguasa Utsmani dan memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid. Berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat ditutup dengan kain hitam. Berbagai atribut Keislaman seperti mihrab, minbar, dan empat menara, ditambahkan. Aya Sofya tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935. Pada tahun 2014, Aya Sofya menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015. Dari pengubahan awal bangunan ini menjadi masjid sampai pembangunan Masjid Sultan Ahmed (juga dikenal dengan Masjid Biru) pada 1616, Aya Sofya merupakan masjid utama di Istanbul. Arsitektur Bizantium pada Aya Sofya mengilhami banyak masjid Utsmani, seperti Masjid Biru, Masjid Şehzade (Masjid Pangeran), Masjid Süleymaniye, Masjid Rüstem Pasha, dan Masjid Kılıç Ali Pasha.


Pembangunan Hagia Sophia.

Pembangunan pertama Hagia Sophia.
Gereja pertama yang dibangun pada tanah tersebut dikenal sebagai Μεγάλη Ἐκκλησία (Megálē Ekklēsíā, "Gereja Agung"), atau dalam bahasa Latin "Magna Ecclesia", dikarenakan ukurannya yang sangat besar bila dibandingkan dengan gereja saat itu di kota Konstantinopel. Gereja ini diresmikan pada 15 Februari 360 pada masa pemerintahan Kaisar Konstantius II oleh Uskup Arian, Eudoxius dari Antiokia, didirikan di sebelah tempat istana kekaisaran dibangun. Gereja Hagia Eirene (secara harfiah bermakna "Kedamaian Suci") di dekatnya telah diselesaikan terlebih dahulu sebelum Gereja Agung selesai. Kedua gereja ini berperan sebagai gereja utama dari Kekaisaran Romawi Timur.

Menulis pada 440, Sokrates dari Konstantinopel mengklaim bahwa gereja ini dibangun oleh Konstantius II, yang mengerjakannya pada tahun 346. Tradisi yang tidak lebih tua dari abad ke-7 melaporkan bahwa bangunan ini dibangun oleh Konstantinus Agung. Zonaras mendamaikan kedua pendapat tersebut, menulis bahwa Konstantius telah memperbaiki bangunan yang telah dikuduskan oleh Eusebius dari Nikomedia ini, setelah keruntuhannya.Karena Eusebius menjadi uskup Konstantinopel pada 339-341, dan Konstantinus meninggal pada 337, tampaknya mungkin saja bahwa gereja pertama ini didirikan oleh Konstantinus.

Bangunan ini dibangun sebagai sebuah basilika bertiang Latin tradisional dengan berbagai galeri dan atap kayu, didahului dengan sebuah atrium. Bangunan ini diklaim sebagai salah satu monumen yang paling menonjol di dunia pada saat itu. Patriark Konstantinopel Yohanes Krisostomus terlibat perselisihan dengan Permaisuri Aelia Eudoxia, istri dari Kaisar Arcadius, dan diasingkan pada 20 Juni 404. Pada kerusuhan berikutnya, gereja pertama ini sebagian besar terbakar. Tidak ada yang tersisa dari gereja pertama ini sekarang.


Pembangunan kedua Hagia Shopia.
Gereja kedua diresmikan pada 10 Oktober 415 atas perintah Kaisar Theodosius II. Basilika ini memiliki atap kayu dan dibangun oleh arsitek bernama Rufinus. Pada masa Kerusuhan Nika, gereja ini terbakar pada 13–14 Januari 532. Beberapa balok marmer dari gereja kedua ini selamat sampai sekarang, beberapa di antaranya adalah relief yang menggambarkan dua belas domba yang mewakili dua belas rasul. Awalnya bagian dari salah satu pintu depan monumental, balok-balok itu sekarang berada di lubang penggalian yang berdekatan dengan pintu masuk museum setelah penemuan pada tahun 1935 di bawah halaman sisi barat oleh A. M. Schneider. Penggalian berikutnya tidak dilanjutkan karena takut merusak keutuhan bangunan.


Pembangunan ketiga Hagia Shopia.

Pada 23 Februari 532, hanya beberapa pekan setelah hancurnya basilika kedua, Kaisar Yustinianus I memerintahkan pembangunan gereja ketiga dengan rancangan yang lebih luas dan megah dari sebelumnya. Yustinianus memilih ahli fisika, Isidore dari Miletus dan ahli matematika Anthemius dari Tralles sebagai arsitek. Tetapi Anthemius meninggal pada tahun pertama pembangunan. Pembangunan ini dijelaskan dalam Tentang Bangunan-bangunan (Peri ktismatōn, Latin: De aedificiis) dari sejarawan Bizantium bernama Procopius. Tiang-tiang dan marmer lain didatangkan dari segala penjuru kekaisaran, di seluruh Mediterania. Pendapat bahwa tiang-tiang ini merupakan rampasan dari kota-kota seperti Roma dan Efesus dikemukakan belakangan. Meskipun tiang-tiang itu dibuat khusus untuk Hagia Sofia, namun ukurannya tampak bervariasi. Lebih dari sepuluh ribu orang dipekerjakan.

Gereja baru ini secara serentak diakui sebagai karya arsitektur besar. Teori-teori Heron dari Aleksandria mungkin telah digunakan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dalam membangun kubah luas yang membutuhkan ruang sedemikian besar.[butuh rujukan] Bersama dengan Patriark Menas, kaisar meresmikan basilika ini pada 27 Desember 537, lima tahun sepuluh bulan setelah pembangunan dimulai. Sedangkan mosaik yang terdapat di dalam gereja baru selesai pada masa Kaisar Yustinus II yang memerintah pada tahun 565–578 M. Hagia Sophia menjadi pusat kedudukan Patriark Ortodoks Konstantinopel dan tempat utama berbagai upacara Kekaisaran Romawi Timur, seperti penobatan kaisar. Seperti gereja-gereja lain di seluruh dunia Kristen, basilika ini memiliki tempat perlindungan dari penganiayaan bagi para pelanggar hukum.

Pada 726, Kaisar Leo III mengeluarkan serangkaian keputusan yang melarang masyarakat untuk memberikan penghormatan kepada gambar-gambar, memerintahkan tentara untuk menghancurkan semua ikon, sehingga mengantar pada periode ikonoklasme Bizantium. Pada masa itu, semua gambar dan patung keagamaan disingkirkan dari Hagia Sophia. Setelah gerakan ini dibendung pada masa Maharani Irene yang berkuasa pada tahun 797–802, ikonoklasme kembali merebak pada masa Kaisar Theophilos yang sangat dipengaruhi oleh seni rupa Islam, yang melarang penggambaran makhluk hidup. Theophilos membuat pintu-pintu perunggu bersayap dua, yang memperlihatkan monogramnya, di pintu masuk gereja bagian selatan.

Basilika ini mengalami kerusakan pertama kali dalam kebakaran besar tahun 859, dan kemudian saat gempa bumi pada 8 Januari 869, yang membuat sebagian kubahnya runtuh. Kaisar Basilius I memerintahkan agar gereja ini diperbaiki. Pada masa pendudukan Konstantinopel pada Perang Salib Keempat, gereja ini dijarah dan dinodai oleh Tentara Salib, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Bizantium Niketas Choniates. Pada masa pendudukan Latin di Konstantinopel (1204–1261), gereja ini berubah menjadi Katedral Katolik Roma. Baldwin I dimahkotai sebagai kaisar pada 16 Mei 1204 di Hagia Sophia, dengan upacara yang pelaksanaannya menggunakan adat Bizantium. Enrico Dandolo, Doge Republik Venesia yang memimpin pendudukan dan invasi terhadap Konstantinopel oleh Tentara Salib Latin pada 1204, dimakamkan di dalam gereja ini. Makam yang telah terukir namanya, yang menjadi bagian dari dekorasi lantai, diludahi oleh banyak masyarakat Romawi Timur yang merebut kembali Konstantinopel pada tahun 1261 M.


Hagia Shopia Menjadi Masjid.


aya sofya
 

Konstantinopel ditaklukkan oleh Utsmani pada 29 Mei 1453. Banyak catatan yang merekam kejadian itu, walaupun beberapa ditulis sekian lama setelah peristiwa tersebut terjadi dan masing-masing menyatakan sebagai catatan yang mendekati aslinya. Baik Yunani, Italia, Slavia, Turki, dan Rusia, semuanya memiliki versi mereka masing-masing yang mungkin sulit untuk disatukan. Salah satu versi cerita tersebut adalah yang ditulis sejarawan kontemporer Inggris bernama Steven Runciman yang dikenal karena bukunya yang berjudul A History of the Crusades.

Setelah penaklukan, Hagia Sophia, disebut Aya Sofya dalam pelafalan Turki, diubah menjadi masjid kekaisaran. Walaupun begitu, keberadaan Gereja Kristen Ortodoks tetap diakui, sebagaimana dalam sistem millet Utsmani yang memberikan agama non-Islam kewenangan khusus dalam mengatur urusan masing-masing. Gennadius Scholarius lantas ditetapkan sebagai Patriark Konstantinopel pertama pada masa Utsmani, kemudian menetapkan kedudukannya di Gereja Rasul Suci, yang kemudian berpindah ke Gereja Pammakaristos.

Seperti dijelaskan oleh beberapa pengunjung dari Barat (misalnya bangsawan dari Kordoba bernama Pero Tafur dan Cristoforo Buondelmonti dari Firenze), gereja saat itu dalam keadaan bobrok, dengan beberapa pintu telah terlepas dari engselnya. Mehmed II memerintahkan perbaikan dan pengubahannya menjadi masjid. Mehmed menghadiri ibadah Jumat yang pertama kalinya di masjid pada 1 Juni 1453. Hagia Sophia menjadi masjid kekaisaran pertama di Istanbul. Pada wakaf yang bersangkutan dianugerahkan sebagian besar rumah yang saat ini berdiri di kota tersebut dan daerah yang kelak menjadi Istana Topkapı. Sejak tahun 1478, sebanyak 2.360 toko, 1.360 rumah, 4 karavanserai, 30 toko boza, dan 23 toko domba memberikan penghasilan mereka untuk yayasan tersebut.

Melalui piagam kekaisaran tahun 1520 (926 H) dan 1547 (954 H), berbagai toko dan bagian dari Grand Bazaar dan pasar-pasar lain, juga ditambahkan ke dalamnya. Sebelum 1481, sebuah menara kecil telah didirikan di sudut barat daya bangunan di atas menara tangga. Kemudian Sultan Bayezid II (1481–1512), membangun menara lain di sudut timur laut. Salah satu dari menara itu runtuh setelah gempa bumi pada tahun 1509, dan sekitar pertengahan abad keenam belas keduanya diganti dengan dua menara yang dibangun di sudut timur dan barat bangunan.

Pada abad keenam belas, Sultan Suleiman Al Kanuni membawa dua batang lilin kuno dari penaklukannya atas Hungaria dan ditempatkan mengapit mihrab. Pada masa Selim II, dikarenakan mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan, Aya Sofya diperkuat dengan dukungan struktural untuk bagian luar. Proyek ini dikepalai arsitek Utsmani saat itu, Mimar Sinan, yang juga dikenal sebagai salah satu insinyur gempa pertama di dunia. Untuk memperkuat struktur bersejarah Bizantium ini, Sinan membangun dua menara besar di barat yang awalnya ruang khusus sultan, dan türbe (bangunan untuk makam di Turki) untuk makam Selim II di tenggara bangunan pada 1576-7 M / 984 H. Selain itu, lambang bulan sabit emas dipasang di atas kubah. Kemudian, makam ini juga menjadi makam bagi 43 pangeran Utsmani.

Pada 1594 M / 1004 H Mimar (kepala arsitek) Davud Ağa membangun makam Murad III (1574–1595), tempat sultan dan permaisurinya, Safiye Sultan, putra, dan putri mereka dikebumikan. Bangunan makam persegi delapan putra mereka Mehmed III (1595–1603) dibangun arsitek kekaisaran Dalgiç Mehmet Aĝa pada 1608 / 1017 H. Di bangunan ini, dimakamkan pula Handan Sultan, selir Mehmed III yang menjadi ibu suri bagi putra mereka Ahmed I. Dimakamkan pula putra dan putri Ahmed I, putri dari Murad III, dan putra sultan lainnya. Putranya yang lain, Mustafa I (1617–1618; 1622–1623), mengubah bekas ruang untuk pembaptisan menjadi türbe-nya. Murad III juga membawa dua guci besar Helenistik dari batu pualam dari Pergamum dan menempatkannya di dalam kedua sisi tengah bangunan.

Pada 1717, di bawah kepemimpinan Sultan Ahmed III (1703–1730), plester yang runtuh dalam interior bangunan direnovasi, secara tidak langsung berperan dalam kelestarian banyak mosaik, yang jika tidak dilakukan maka akan dihancurkan oleh para pekerja bangunan. Karena kenyataannya adalah hal biasa bagi mereka untuk menjual batu-batu mosaik – yang dipercaya sebagai azimat – kepada para pengunjung. Sultan Mahmud I memerintahkan perbaikan Aya Sofya pada 1739 dan menambahkan sebuah madrasah, imaret atau dapur umum untuk kaum miskin, dan perpustakaan. Pada tahun 1740, pondok sultan (sultan mahfili) dan mihrab baru ditambahkan di dalam bangunan.


Hagia Sophia Menjadi Museum.


aya sofya


Kesultanan Utsmani runtuh pada November 1922 M dan digantikan oleh Republik Sekuler Turki. Presiden pertamanya, Mustafa Kemal Atatürk memerintahkan penutupan Aya Sofya pada 1931 M untuk umum, dan dibuka empat tahun setelahnya pada 1935 M sebagai museum. Karpet untuk ibadah shalat dihilangkan, plester dan cat-cat kaligrafi dikelupas, menampakkan kembali lukisan-lukisan Kristen yang tertutupi selama lima abad. Sejak saat itu, Aya Sofya dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul. Penggunaan Aya Sofya sebagai tempat ibadah dilarang keras oleh pemerintah Turki yang berhaluan sekuler. Namun perintah itu melunak ketika pada 2006, pemerintah Turki mengizinkan alokasi khusus untuk sebuah ruangan doa Kristen dan museum Muslim staf dan sejak tahun 2013, muazin mengumandangkan adzan dari menara museum dua kali saat siang hari.


Fase Transisi Hagia Sophia.

Selama 15 abad terakhir, Hagia Sophia menjadi saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (kini Istanbul), mulai dari pagan, Kekaisaran Byzantium penganut Katolik Ortodoks, Kesultanan Ottoman (Utsmaniyah) sampai era Turki modern. Secara garis besar, sejarah panjang Hagia Sophia dapat dipilah menjadi empat fase. Pada empat fase itu, alih fungsi Hagia Sophia terjadi bergantung pada siapa rezim yang berkuasa di Istanbul.


Hagia Sophia pada Era Kekaisaran Bizantium.
 
Dalam bahasa Turki, Hagia Sophia disebut Ayasofya, dan di bahasa Latin: Sancta Sophia. Hagia Sophia juga pernah dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci (Church of the Holy Wisdom) dan Gereja Kebijaksanaan Ilahi (Church of the Divine Wisdom). Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan Hagia Sophia pertama kali didirikan di atas pondasi atau tempat kuil pagan pada 325 Masehi, atas perintah Kaisar Konstantinus I. Putranya, Konstantius II, lalu menjadikan bangunan ini sebagai gereja Ortodoks pada 360 masehi. Hagia Sophia kemudian menjadi gereja tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium.

Hagia Sophia sekaligus menjadi saksi sekaligus korban pusaran konflik di tengah pelbagai kejadian yang menerpa Kekaisaran Bizantium. Hagia Sophia juga pernah direparasi secara besar-besaran beberapa kali pada era ini. Sebagaimana dilansir dari History, Hagia Sophia semula hanyalah bangunan beratap kayu dan tak semegah yang sekarang. Pada tahun 404 masehi, Hagia Sophia sempat terbakar akibat kerusuhan karena konflik politik di kalangan keluarga Kaisar Arkadios yang kemudian menjadi penguasa Bizantium pada 395-408 masehi. Selepas Arkadios mangkat, penerusnya, Kaisar Theodosis II membangun struktur kedua di Hagia Sophia. Di bangunan ini, ditambahkan lima nave dan jalan masuk khas gereja dengan atap terbuat dari kayu. Lalu, sebagaimana dicatat Encyclopedia Britannica, pembangunan gereja Hagia Sophia berlanjut di masa kekuasaan Justinan I (532 M). 

Perbaikan dilakukan karena Hagia Sophia rusak akibat rusuh yang terjadi saat revolusi Nikka. Setelah kerusuhan yang melanda Konstantinopel itu, Justinian I memerintahkan arsitek terkenal pada masanya, Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), untuk mendirikan ulang bangunan Hagia Sophia. Pada masa Kaisar Justinian I inilah yang paling masyhur diakui sebagai fondasi awal dari bangunan Hagia Sophia yang sekarang demikian terkenal. Kubah yang menaungi Hagia Sophia juga diklaim sebagai kubah bangunan terbesar kedua selepas Gereja Pantheon di Roma. Bangunan ini dianggap warisan arsitektur terpenting dari era Bizantium dan merupakan bagian dari monumen warisan dunia.


Hagia Sophia pada Era Kesultanan Ottoman.

Pada 1453, era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmet/Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Setelah Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel, status Hagia Sophia dikonversi menjadi masjid. Nama Hagia Sophia masih dipertahankan oleh Sultan Mehmed II. Sebagaimana arti kata sophia dalam bahasa Yunani adalah kebijaksanaan, maka arti lengkap dari Hagia Sophia adalah tempat suci bagi Tuhan. Sultan Mehmed II mempertahankan kesucian Hagia Sophia dan hanya mengubah status fungsinya dari gereja menjadi tempat ibadah umat Islam. Salah satu alasan Sultan Mehmed II: "Tuhan yang disembah umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang sama," tulis Robert Mark dan Ahmet S. Cakmak yang dikutip dari Diegesis di Hagia Sophia from the Age of Justinian to the Present (1992: 201).

Saat berubah menjadi masjid di era Mehmed II, banyak mosaik dan lukisan bercorak Kristen, yang menghiasai bangunan Hagia Sophia, ditutupi dan diplester. Seniman kaligrafi terkenal pada masa itu, Kazasker Mustafa İzzet, kemudian mengguratkan tulisan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, empat khalifah pertama, dan dua cucu Rasulullah SAW, di beberapa bagian interior Hagia Sophia. Pada masa Kesultanan Ottoman, struktur bangunan Hagia Sophia memperoleh sentuhan arsitektur Islam. Misalnya, mihrab yang kemudian dibangun, hingga pendirian empat menara yang digunakan untuk melantunkan Adzan. Bangunan seperti madrasah, perpustakaan hingga dapur umum juga melengkapi Hagia Sophia pada masa Ottoman. Pada era Kekaisaran Ottoman, bangunan Hagia Sophia sempat difungsikan menjadi masjid selama 482 tahun.


Hagia Sophia pada Era Pemerintahan Kemal Ataturk.

Selepas Kekaisaran Ottoman bubar dan Turki menjadi negara republik, Hagia Sophia pun kembali beralih fungsi. Pendiri dan presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Setelah Hagia Sophia menjadi museum, dilakukan restorasi mosaik-mosaik kuno di bangunan ini dan plester penutupnya dibuka. Lantas, selepas plester ornamennya dibuka, tampaklah lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus, yang ternyata berjejer dengan kaligrafi Allah dan Muhammad SAW. Hagia Sophia kemudian diakui sebagai salah satu dari situs Warisan Dunia UNESCO yang disebut Area Bersejarah Istanbul, sejak tahun 1985. 


Hagia Sophia pada Era Pemerintahan Erdogan.

Jalan panjang Hagia Sophia saat ini memutar lagi. Karena putusan pengadilan administrasi utama Turki, status Hagia Sophia sebagai museum dicabut pada 10 Juli 2020. Pada masa pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan ini, Hagia Sophia diubah status fungsinya kembali menjadi masjid. Perubahan ini menuai kontroversi. Saking kontroversialnya, Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis dari Yunani menuding keputusan itu sebagai penghinaan terhadap karakter ekumenis dari Hagia Sophia. Sementara itu, UNESCO memberi peringatan bahwa perubahan status Hagia Sophia harus ditinjau oleh komite badan PBB tersebut.

Oleh karena Hagia Sophia sejak 1985 dianggap bagian dari Situs Warisan Dunia, pengubahan status bangunan ini harus diberitahukan terlebih dahulu dan melalui proses peninjauan UNESCO. "Penting untuk menghindari keputusan apa pun sebelum berunding dengan UNESCO, yang akan memengaruhi akses fisik ke situs, struktur bangunan, properti yang dapat dipindahkan, atau manajemen situs bersejarah," kata Ernesto Ottone, Asisten Direktur UNESCO belum lama ini. Menurut UNESCO, tindakan-tindakan semacam itu bisa dianggap pelanggaran aturan yang sudah tertera di Konvensi Warisan Dunia 1972.

Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid masih terus bergaung. Alih fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid memantik polemik di dunia internasional. Sebagian negara yang mayoritas berpenduduk muslim mendukung keputusan otoritas Turki untuk mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi masjid. Sejumlah organisasi muslim, seperti Uni Magrib Arab (The Magrib Arab Union), organisasi Ikhwanul Muslimin, juga dengan bersemangat mendukung langkah rezim Presiden Erdogan itu. Pihak-pihak itu menyebut momen tersebut sebagai "langkah sejarah" atau "peristiwa bersejarah" dalam Islam, demikian dikutip kantor berita Turki.

Wacana mengembalikan Aya Sofya menjadi tempat ibadah semakin ramai diperbincangkan. Pada tahun 2007, politikus Yunani, Chris Spirou mencanangkan gerakan internasional untuk memperjuangkan Aya Sofya kembali menjadi Gereja Ortodoks Yunani. Di sisi lain, beberapa seruan dari beberapa pejabat tinggi, khususnya Wakil Perdana Menteri Turki, Bülent Arınç, menuntut Aya Sofya untuk digunakan kembali sebagai masjid pada November 2013.

Pada bulan Ramadhan 1437 H / 2016, pemerintah Turki memulihkan beberapa fungsi Aya Sofya sebagai masjid kembali selama bulan Ramadhan. Ayat dari kitab suci Al Quran akan dibacakan di Aya Sofya setiap harinya pada bulan suci Ramadhan. Pembacaan dimulai sejak awal Ramadhan dan juga disiarkan secara langsung di saluran religi Turki TRT Diyanet, Selasa (07/06/2016). Hari Senin, pemerintah Turki mulai menyiarkan pembacaan Al Quran dan makan sahur, pada televisi nasional langsung dari Aya Sofya, yang sebelumnya difungsikan sebagai museum sejak sekularisasi Turki oleh Atatürk.

Langkah ini menuai kecaman dari beberapa pihak. Dalam pernyataan bersama, para pemimpin partai oposisi Yunani mengatakan bahwa langkah Ankara adalah tindakan provokatif. ”Menunjukkan rasa tidak hormat terhadap orang Kristen Ortodoks di seluruh dunia dan tidak sejalan dengan program Eropa-Turki,” bunyi pernyataan bersama itu, seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (8/6/2016).

Pada salah satu kampanye Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjanjikan untuk mengembalikan fungsi Aya Sofia sebagai masjid, sesuai dengan usulan dan keinginan rakyat Turki (27/03/2019). Mengenai kecaman dan protes dari berbagai pihak atas perubahan fungsi Aya Sofia, Presiden Erdogan membandingkan peristiwa yang terjadi tidak lama sebelumnya, yaitu serangan yang menargetkan Masjid Al Aqsha di Yerussalem dan pihak lain hanya diam, begitu pula jika Aya Sofia menjadi masjid seharusnya pihak lain cukup diam, tidak perlu melayangkan protes dan kecaman.

Pada Bulan Juni 2020, beberapa Uskup Katolik di Turki dan tokoh-tokoh Katolik Roma menyatakan dukungan secara tidak langsung terhadap keputusan pemerintah Turki atas status Aya Sofia. Menurut mereka, Permerintah Turki memiliki kedaulatan untuk menentukan eksistensi dan status Aya Sofia. Sedangkan Patriarki Armenia mendukung keputusan pemerintah disertai dengan harapan agar selain dialih-fungsikan sebagai masjid, pada bagian tertentu di Aya Sofia diberikan ruangan untuk tempat beribadah umat Kristen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan pesan perdamaian, toleransi, dan hubungan yang lebih erat antara Islam dan Kristen.

Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2020, Pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan 1943 yang mengubah status Aya Sofia menjadi museum. Seiring dengan keputusan tersebut, pada tanggal yang sama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan dekrit yang berisi "Hagia Sophia kembali ke fungsinya semula sebagai tempat ibadah umat Islam. Ibadah pertama bisa dilakukan mulai 24 Juli mendatang.". Meskipun telah beralih-fungsi sebagai masjid, Aya Sofia tetap terbuka untuk umum yang ingin berkunjung ke Aya Sofia.


Surat - surat di Aya Sofya.


hagia shopia
 

Di dalam Aya Sofya terdapat surat-surat dari sultan Utsmaniyah yang berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pembawa suaka. Terdapat sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang dikeluarkan kepada sultan.
  • Surat tertua ialah surat sertifikat tanah untuk para pengungsi Yahudi pada tahun 1519 yang lari dari Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Al-Andalus.
  • Surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim sultan pasca Revolusi Amerika abad ke-18.
  • Surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia pada 7 Agustus 1709.
  • Surat yang memberi izin dan beberapa ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia pada tanggal 13 Rabiul akhir 1282 H (5 September 1865). Belakangan mereka kembali ke wilayah kesultanan.
  • Peraturan bebas cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari suaka ke wilayah sultan pasca Revolusi Bolshevik tanggal 25 Desember 1920 M.


Referensi :
  • Müller-Wiener (1977), p. 112.
  • Magdalino, Paul, et al. "Istanbul: Buildings, Hagia Sophia" in Grove Art Online. Oxford Art Online. accessed 28 February 2010.
  • Fazio, Michael; Moffett, Marian; Wodehouse, Lawrence (2009). Buildings Across Time (edisi ke-3rd). McGraw-Hill Higher Education. ISBN 978-0-07-305304-2.
  • Simons, Marlise (22 August 1993). "Center of Ottoman Power". New York Times. Diakses tanggal 4 June 2009.
  • Kleiner, Fred S.; Christin J. Mamiya (2008). Gardner's Art Through the Ages: Volume I, Chapters 1–18 (edisi ke-12th). Mason, OH: Wadsworth. hlm. 329. ISBN 0-495-46740-5.


Demikianlah artikel yang menjelaskan tentang " Sejarah Hagia Sophia (Aya Sofya) Beserta Fase Transisi Hagia Shopia Dari Berbagai Rezim". Semoga melalui tulisan ini memberikan pemahaman kepada pembaca yang sedang mempelarinya. Mohon maaf jika ada kesalahan dan silahkan tinggal tanggapan maupun kritikan yang sifatnya memperbaiki untuk yang akan datang. Terima kasih dan semoga bermanfaat.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar