Sejarah Bahasa Indonesia, Asal Usul dan Perkembangan Bahasa Indonesia. | Berbagai Reviews

Kumpulan Artikel Pendidikan Pengetahuan dan Wawasan Dunia

12 Juni 2020

Sejarah Bahasa Indonesia, Asal Usul dan Perkembangan Bahasa Indonesia.

| 12 Juni 2020
Asal usul bahasa Indonesia


Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki beragam bahasa. Semua memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Tidak hanya itu, dari berbagai bahasa itu juga terdiri dari bermacam dialek dan gaya. Sehingga muncul bahasa nasional, dimana bersamanya, tersimpan sejarah bahasa Indonesia yang memiliki nilai-nilai perjuangan.

Meskipun Bahasa Indonesia dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Istilah "bahasa Indonesia" paling umum dikaitkan dengan bahasa baku yang digunakan dalam situasi formal. Ragam bahasa baku tersebut berhubungan diglosik dengan bentuk-bentuk bahasa Melayu vernacular yang digunakan sebagai peranti komunikasi sehari-hari. Artinya, penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (colloquial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.


Definisi Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu. Dasar yang dipakai sebagai dasar bahasa Indonesia baku adalah bahasa Melayu Tinggi ("Riau"). Dalam perkembangannya, ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.


Asal Usul Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. 

Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu. 


Perkembangan Bahasa Melayu

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana - mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. 

Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.


Perkembangan Bahasa Indonesia

Sejarah bahasa Indonesia baru menjadi “resmi” ketika pada awal abad ke-20, mulai ada perpecahan bentuk baku tulisan pada bahasa Melayu. Pada tahun 1901, Indonesia yang masih menjadi Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan Persekutuan Tanah Melayu yang nantinya menjadi bagian dari Malaysia mengadopsi ejaan Wilkinson 3 tahun setelahnya.

Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat (KRB) dibentuk pemerintah Belanda sebagai bentuk intervensi pada tahun 1908 dan nantinya akan berubah nama menjadi nama yang dikenal baik sebagai Balai Poestaka. Dengan D.A. Rinkes sebagai pimpinannya, KRB menjalankan sebuah program pada tahun 1910, yaitu pembuatan perpustakaan kecil di tiap sekolah pribumi dan fasilitas-fasilitas pemerintah yang diberi nama program Taman Poestaka.

Akibat program Taman Poestaka yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda, terjadi perkembangan yag pesat dimana 700 perpustakaan telah terbangun pada tahun 1912. Program ini melahirkan berbagai anak bangsa yang hobi mencari ilmu dan membaca yang akhirnya menuntun pada terjadinya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Sumpah Pemuda memainkan peran penting dalam sejarah bahasa Indonesia, terutama penggunaannya sebagai bahasa Nasional. Sumpah Pemuda sendiri sebenarnya adalah hasil putusan yang diterima dari Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 87 dan 28 Oktober 1928. Dalam salah satu isi Sumpah Pemuda tertuliskan bahwa pemuda dan pemudi Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Pada kongres ini juga Muhammad Yamin mengatakan bahwa ada dua kemungkinan bahasa yang bisa menjadi bahasa persatuan yaitu Jawa dan Melayu, dan Yamin berpendapat bahwa bahasa Melayu yang akan menjadi bahasa pergaulan.


Pengukuhan Bahasa Indonesia

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar 
  1. Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, 
  2. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan 
  3. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. 


Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.


Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu atau Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:

Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Malmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
  • Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
  • Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dan sebagainya.
  • Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dan sebagainya.
  • Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dan sebagainya.


Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dan sebagainya.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dan sebagainya.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

Ejaan Pembaharuan

Ejaan Pembaharuan dirancang oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Prijono dan E. Katoppo pada tahun 1957 sebagai hasil keputusan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Namun, sistem ejaan ini tidak pernah dilaksanakan.

Ejaan Melindo

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.

Ejaan yang Disempurnakan

Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK) untuk menggantikan ejaan Melindo. Kemudian, diresmikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, dibakukan.

Ejaan Bahasa Indonesia

Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan yang Disempurnakan. Tidak terdapat banyak perbedaan antara EYD dan EBI. Pada EBI, terdapat penambahan satu huruf diftong, yaitu huruf ei sehingga huruf diftong dalam Bahasa Indonesia menjadi empat huruf, yakni ai, ei, au, dan oi. Selain itu terdapat juga penambahan aturan pada penggunaan huruf tebal dan huruf kapital.


Demikianlah ulasan tentang Sejarah Bahasa Indonesia yang dapat kami sampaikan, jika ada kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf, silahkan tinggalkan komentar dengan sifatnya membangun menjadi lebih baik. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar