Riba, Pengertian dan Jenis - Jenis Riba, Usury (alrriba). | Berbagai Reviews

Kumpulan Artikel Pendidikan Pengetahuan dan Wawasan Dunia

7 Maret 2017

Riba, Pengertian dan Jenis - Jenis Riba, Usury (alrriba).

| 7 Maret 2017
Menurut bahasa atau lugat, pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukar-menukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

berbagaireviews.com

Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Riba dalam pandangan agama Islam.

Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : 

berbagaireviews.com


...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...."

Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.

Riba dalam Dalilnya pada Al Quran.

Riba hukumnya haram baik dalam al-Qur-an, as-Sunnah maupun ijma’.

Di dalam Islam Riba dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun juga adalah dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, hukum riba itu adalah haram sebagaimana dalil rentang riba dalam firman Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan riba sebagai berikut.

berbagaireviews.com

Dalam al-Qur-an disebutkan:

وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“…Dan menyuburkan sedekah…” [Al-Ba-qarah/2: 276]

Dari kata itu diambillah istilah riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39]

Maka dikatakan, رَبَا الْمَالُ (Harta itu telah bertambah).

Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus.
Dalam kitab Mughnil Muhtaaj disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at, baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang yang ditukarkan atau salah satunya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah/2: 278]

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” [Al-Baqarah/2: 275]

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” [Ali ‘Imran/3: 130]

Dalam as-Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama.”

Dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ الرِّبَا.

“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”

Ayat al-qur’an yang melarang orang Mukmin agar tidak memakan riba dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:

يَايُّهَا الَّذِىْنَ أَمَنُوْا التَّقُوْا اللهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ مٍنَ الرِّبَوا اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 278)
Firman Allah yang akan emberikan siksa atau Azab bagi orang-orang yang memakan riba yaitu :

وَاَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِاالْبَاطِلِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكَفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا عَلِيْمًا

Artinya: “Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161)
Firman Allah tentang harta Riba yang tidak akan membawa keberkahan :
وَمَا ءَاتَيْتُم مِّنْ رِّبًا لِيَرْبُوَا فِى أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوَا عِنْد اللهِ وَمَا اَتَيْتُمْ مِنْ زَكَوةٍ تُرِيْدُوءنَ وَجْهَ اللهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ

dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Pernyataan Allah yang lain tentang riba yaitu :
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدقَتِ واللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْم
Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S. Al-Baqarah: 276)

Adapaun firman Allah yang menyatakan bahwa Jual beli itu tidak sama dengan riba adalah

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوا لَايَقُمُوْنَ إِلّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبُّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُو اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْل الرِّبَوا وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . (Q.S. Al-Baqarah: 275)

Beberapa firman Allah SWT tersebut di atas cukup menggetarkan hati kita sebagai seorang Mukmin, betapa berbahaya akibat yang akan didapat orang-orang yang tidak menghentikan riba atau bentuk-bentuk kegiatan usaha yang berbau riba. Macam-macam riba tersebut di atas berdampak buruk terhadap kehidupan pribadi dan sosial. Orang-orang yang tidak mau segera menghentikan perbuatan riba, seolah-olah ia mengumumkan perang terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya.

Jenis - Jenis Riba.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah

Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Riba Fadhl

Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang.

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.

Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang.

Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil.

Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
  • Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
  • Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
  • Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
  • Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
  • Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
  • Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
  • Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
  • Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
  • Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Contoh Jenis Riba.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang  (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:

Riba Dalam Hutang.

berbagaireviews.com

Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang.Riba ini terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal).Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.

Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebutriba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.

Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Jika si A berutang dua liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan.Demikian pula jika si A berutang 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.

Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.

Riba Dalam Jual-beli.

berbagaireviews.com

Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah.Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.

Berbeda dengan riba dalam utang (dain)  yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”(HR. Muslim no. 1584)

Dalam riwayat lain dikatakan:

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:

Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.

Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.

Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenisriba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.

Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu,  maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.

Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.

Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah 

Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan.

Nah, sekarang mari kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya.  Hanya saja, karena istilah riba fadhldan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.

Silahkan cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.

Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong ribanasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, ribanasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).

Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam ribanasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar