Pengertian dualisme kepemimpinan.
Dualisme kepemimpinan merupakan suatu kondisi dimana seorang pemimpin menempati dua jabatan yang mana kedua jabatan tersebut berada dalam lingkup yang berbeda (eksekutif, legislatif, yudikatif). Selain itu dualisme kepemimpinan dapat pula didefinisikan sebagai kondisi dimana dalam suatu organisasi (negara) dipimpin oleh dua orang pemimpin. Terkait dengan definisi pertama, dualisme kepemimpinan tidak hanya terjadi antara jabatan eksekutif dengan legislatif, tetapi juga jabatan lainnya seperti eksekutif dan ketua partai serta lainnya. Sedangkan terkait untuk definisi kedua, dualisme kepemimpinan seperti itu pernah muncul pada era Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 pasca keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Dualisme kepemimpinan merupakan suatu kondisi dimana seorang pemimpin menempati dua jabatan yang mana kedua jabatan tersebut berada dalam lingkup yang berbeda (eksekutif, legislatif, yudikatif). Selain itu dualisme kepemimpinan dapat pula didefinisikan sebagai kondisi dimana dalam suatu organisasi (negara) dipimpin oleh dua orang pemimpin. Terkait dengan definisi pertama, dualisme kepemimpinan tidak hanya terjadi antara jabatan eksekutif dengan legislatif, tetapi juga jabatan lainnya seperti eksekutif dan ketua partai serta lainnya. Sedangkan terkait untuk definisi kedua, dualisme kepemimpinan seperti itu pernah muncul pada era Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 pasca keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Munculnya dualisme kepemimpinan nasional soekarno-soeharto
Munculnya dualisme kepemimpinan nasional soekarno-soeharto setelah peristiwa.. Dengan mengacu pada Ketetapan MPRS No. XIII /MPRS/1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan kemudian menyerahkan wewenang kepada Letjen Soeharto untuk membentuk kabinet AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat). Tugas pokok kabinet Ampera tertuang dalam Dwidarma Kabinet Ampera, yang intinya mewujudkan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Ternyata Kabinet Ampera belumdapat menjalankan fungsinya dengan baik karena terganjal persoalan “DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL”, yaitu Presiden Soekarno selaku pemimpin negara / pemerintahan dan Letjen Soeharto selaku pelaksana pemerintahan.
Konflik itu berakhir setelah timbul tekanan dan desakan agar presiden Soekarno segera mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Akhirnya pada sidang umum MPRS V tanggal 21 – 30 Maret 1967 Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 1968 – 1973.
Konflik itu berakhir setelah timbul tekanan dan desakan agar presiden Soekarno segera mengundurkan diri dari jabatannya. Oleh karena itu MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilu. Akhirnya pada sidang umum MPRS V tanggal 21 – 30 Maret 1967 Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 1968 – 1973.
Dualisme kepemimpinan nasional.
Memasuki tahun 1966 terlihat adanya gejala krisis kepemimpinan yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Untuk menugaskan Letjen Soeharto selaku pengemban Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru. Kabinet baru tersebut ditetapkan oleh MPRS dan bernama Kabinet Ampera. Dengan adanya ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1996 tentang Kabinet Ampera, maka Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, kemudian Letjen Soeharto pada tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera.
Kabinet Ampera diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 dengan tugas pokok menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kerja Kabinet Ampera disebut dengan Caturkarya Kabinet Ampera. Isi Caturkarya adalah memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan papan, melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968), melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, serta melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Presiden Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi tersebut berakibat munculnya dualisme kepemimpinan nasinal yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan, sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Akibat dari hal tersebut menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal itu jelas sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap. MPRS, secara hukum Supersemar tidak bisa lagi dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno, bahkan secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno.
Presiden Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. Nawa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya Sembilan dan aksara yang artinya huruf atau istilah. Isi pidato tersebut hanya menyinggung sedikit sebab-sebab meletusnya peristiwa G-30-S/PKI. Hal tersebut tidak memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G-30-S/PKI.
Kemudian Presiden Soekarno menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam pelnawaksara presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN dan bukan hal lain.
Sehubungan dengan permasalahan dan keadaan politik pada waktu itu, maka pada tanggal 9 Februari 1967 DPR GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan sidang istimewa. Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Mr.Hardi, seorang sahabat Soekarno menemui Presiden Soekarno dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan Negara, karena adanya dualisme kepemimpinan itulah yang menjadi sumber konflik politik.
Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS menyatakan nonaktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Saran Mr. Hardi tersebut diterima oleh Soekarno. Kemudian disusun surat penugasan mengenai pimpinan harian kepada pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Presiden menulis nota pribadi kepada Soeharto. Kemudian Mr. Hardi pada tanggal 7 Februari 1967 menemui Soeharto dan menyerahkan konsep surat.
Pada tanggal 8 Februari 1967, soeharto bersama beberapa panglima membahas surat tersebut. Para panglima berkesimpulan bahwa draf surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan konflik. Pada tanggal 10 Februari 1967 ketidaksetujuan isi draf surat penugasan disampaikan kepada presiden dari presiden menanyakan mana yang terbaik. Kemudian Soeharto mengajukan draf yang isinya pernyataan bahwa presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar. Awalnya Soekarno tidak berkenan dengan usulan tersebut., tetapi kemudian sikap Soekarno melunak. Soekarno memerintahkan agar soeharto beserta panglima berkumpul pada hari Minggu 19 Februari 1967 di Bogor. Presiden menyetujui draf dan menandatangani pada tanggal 20 Februari 1967. Presiden meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967 dan tepat pukul 19.30 presiden membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden Republik Indonesia oleh ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setahun setelah Jenderal Soeharto menjadi pejabat presiden , pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia dalam sidang umum V MPRS. Melalui Tap. MPRS No. XLIV/MPRS/1968 Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR dari hasil pemilu. Pengukuhan Jenderal Soeharto tersebut menandai berakirnya dualisme kepemimpinan nasional dan menandai dimulainya pemerintahan Orde Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar