Masa kedatangan militer Jepang ke Indonesia, sikap bangsa Indonesia pada umumnya menerima dengan baik. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan bangsa Indonesia dapat menerima dengan baik akan kedatangan jepang, yakni berasal dari fakor intern dan ekstern. Faktor intern yakni, dari pihak bangsa Indonesia adanya Ramalan Jayabaya, bahwasanya akan datang bangsa kulit kuning yang akan membantu rakyat Indonesia agar terbebas dari penjajahan kolonial Belanda. Selain itu juga dari pihak Jepang yang datang ke Indonesia, menyatakan bahwa mereka datang sebagai saudara tua yang akan melindungi wilayah Asia, khususnya rakyat Indonesia dari penjajahan pihak Sekutu. Faktor ekstern yakni, kemenangan Jepang atas Rusia, hal ini menjadi inspirasi bagi kaum Nasionalis untuk bekerjasama dengan Jepang dalam mencapai kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik.
Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in).
Pada tanggal 5 september 1943 Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi Tentara Keenam Belas) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 tentang pembentukan Chuo Sangi-in. Berdasarkan Osamu Seirei No. 36 ini, hal-hal yang boleh dirundingkan antara lain, pengembangan pemerintah militer, mempertinggi derajat rakyat, pendidikan, penerangan, industri, ekonomi, kemakmuran, bantuan sosial, dan kesehatan. Namun, pada kenyataannya semua itu sama sekali tidak pernah diwujudkan oleh pemerintah militer Jepang, walaupun berulangkali telah diusulkan Chuo Sangi-in dalam sidang-sidangnya. Bahkan, sebaliknya derajat, kemakmuran, kesejahteraan dan kesehatan rakyat semakin menurun sejak pendudukan militer Jepang. Karena pada dasarnya kebijakan ini hanya diarahkan kepada usaha untuk membantu segala keperluan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Chuo Sangi In adalah suatu badan yang bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan mengenai soal-soal politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah militer Jepang. Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1943 yang beranggotakan 43 orang (semuanya orang indonesia) dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
Pendudukan militer Jepang di Indonesia pada tahun 1942 bersamaan perang melawan sekutu, sehingga tidak memungkinkan Jepang untuk mendirikan sistem perwakilan rakyat di Indonesia. Pemerintahan militer Jepang hanya mendirikan ”Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in)”. Dewan ini hanya bertugas memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemerintah militer Jepang, serta mengajukan pendapat yang tidak ada akibatnya bila tidak dilaksanakan oleh pemerintah militer Jepang.
Keanggotaan Chuo Sangi-in terdiri dari para anggota Chuo Sangi-in dan sekretariat Chuo Sangi-in atau disebut Zimukyoku, yang diangkat oleh Saiko Shikikan. Anggota Chuo Sangi-in terdiri dari 23 orang, 21 orang diantaranya berasal dari golongan Nasionalis yakni Ir.Sukarno, Drs.Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dll. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan kaum Nasionalis lebih mendapat perhatian khusus oleh pemerintah militer Jepang, daripada kedudukan mereka dalam Volksraad (Dewan rakyat) pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Adapun fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap anggota Chuo Sangi-in adalah berupa uang jabatan, uang jalan, dan uang saku.
Sebagaimana telah disebutkan, tahun 1942, posisi pasukan tentara Jepang di Pasifik mulai terdesak. Untuk menarik dukungan penduduk di negara jajahan, Jepang merencanakan memberi kemerdekaan kepada Birma dan Filipina. Rencana itu tidak menyebut nasib Indonesia. Oleh karena itu, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes kepada Jepang Menanggapi protes dan ancaman dan tokoh-tokoh nasionalis di Indonesia, pemerintah Jepang kemudian menempuh kebijaksanaan partisipasi politik. Maksudnya, memberikan peran aktif kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. Untuk ini telah diambil langkah-langkah sebagai berikut :
- Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In).
- Pembentukan Dewan Pertimbangan Keresidenan (Shu Shangi Kai).
- Tokoh-tokoh Indonesia diangkat sebagai penasihat di berbagai departemen.
- Pengangkatan orang-orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, maka pada tanggal 5 September 1943, Saiko Shikikan(Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu SeireiNo. 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi Indan Chuo Sangi Kai.
Hal yang boleh dibahas atau dirundingkan dalam Chuo Shangi In antara lain :
- pengembangan pemerintahan militer
- mempertinggi derajat rakyat
- pendidikan dan penerangan
- industri dan ekonomi,
- kemakmuran dan bantuan sosial, serta
- kesehatan.
Sidang - Sidang Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in).
Pada Sidang Chuo Sangi In I, tanggal 17 Oktober 1943 dilantik secara resmi, ketua Chuo Sangi In, yakni Soekarno dan dua orang wakil ketua, yakni R.M.A.A. Kusumo Utoyodan dr. Buntaran Martoatmojo. Anggota Chuo Sangi In boleh mengajukan usul-usul, tetapi semua keputusan tergantung pada pemerintah di Tokyo. Pada tanggal 15 November 1943, delegasi Chuo Sangi In yang terdiri atas Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Bagus Hadikusumo diundang ke Jepang. Pada kesempatan pertemuan dengan PM Tojo, delegasi Chuo Sangi In minta agar Indonesia diizinkan mengibarkan bendera Sang Merah Putih dan diizinkan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta mendesak agar Indonesia disatukan dalam satu pemerintahan. Permintaan ini ditolak PM. Tojo. Adapun pokok pembicaraan dalam sidang tersebut yaitu, bagaimana cara memperkuat tenaga untuk kepentingan perang Asia Timur Raya dengan menggerakkan semua sumber, baik tenaga manusia (Romusha) maupun benda, khususnya bagi Jawa. Selain itu juga dibicarakan masalah memperbesar hasil bumi untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan memperbesar kekuatan perang. Semua hal itu bertujuan hanya untuk kepentingan Jepang tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia. Dimana para petani Jawa diharuskan menyerahkan atau menjual padinya dengan harga yang tela ditetapkan pemerintah militer Jepang,. Hal ini menyebabkan petani Jawa semakin menderita.
Sidang kedua Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 30 Januari hingga 3 Februari 1944, membahas tentang penyempurnaan kekuatan Jawa. Bahwasanya posisi Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya sudah dalam keadaan bertahan, sementara pihak Sekutu dalam posisi menyerang. Sehingga keadaan inilah yang meyebabkan Jepang sangat membutuhkan pengerahan kekuatan pasukan khususnya dari penduduk Jawa.
Di dalam sidang tersebut Saiko Shikikan menyatakan bahwa perlunya cara praktis dan nyata untuk menyempurnaan kekuatan di Jawa dalam menghadapi pertempuran dengan pihak sekutu. Adapun upaya yang akan dilakukan oleh Chuo Sangi-in adalah, memperkokoh dan memperkuat tenaga militer seperti Peta dan Heiho, serta menyusun kekuatan militer dari penduduk Jawa, yang nantinya akan dijadikan sebagai prajurit perang.
Sidang ketiga Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 7 hingga 11 Mei 1944, membahas tentang bagaimana cara memperdalam kesadaran seluruh rakyat akan kewajibannya untuk menyelesaikkan perang dan rasa persaudaraan diantara rakyat. Di Jawa khususnya harus dikerahkan penambahan tenaga perang dengan menjauhkan segala bentuk perselisihan yang menjadi rintangan bagi persaudaraan dan persatuan. Selain itu juga diharapkan adanya usaha praktis untuk menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri, yang berhubungan dengan kebutuhan perang. Dalam hal ini Chuo Sangi-in menganjurkan segera dibentuk barisan pelopor dalam Jawa Hokokai yang siap mengorbankan dirinya untuk turut berjuang dalam perang. Maka dari itu usaha ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya suasana persahabatan.
Sidang keempat Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 16 Agustus 1944, membahas tentang upaya peningkatan tenaga kerja, penyempurnaan hasil produksi dan memperkuat pembelaan rakyat terhadap tanah airnya. Dalam sidang ini diusulkan upaya penyempurnaan hasil produksi, baik di pabrik, perusahaan, hutan maupun sawah-sawah, maka diperlukan ”Tenaga pekerja” baik pria maupun wanita. Selain itu juga diusulkan dibentuk ”Badan Pembantu Pekerja” yang berada dibawah Jawa Hokokai. Untuk semakin memeperkuat pembelaan rakyat terhadap tanah airnya maka didalam sidang ini diusulkan adanya penanaman faham ”Bakti kepada tanah air”. Selain itu juga diusulkan adanya pemberian tanda jasa kepada para prajurit Jepang, agar dapat mengobarkan semangat rakyat untuk ikut berperang.
Sidang kelima Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 11 September 1944, membahas upaya tindak lanjut akan janji kemerdekaan bagi Indonesia (Janji Koiso). Sebagai upaya menyambut ”Janji Koiso”, maka Chuo Sangi-in menyatakan kesanggupannya bangsa Indonesia untuk terus berjuang bersama Jepang, serta menanamkan semangat keprajuritan dalam hati seluruh rakyat Indonesia agar menjadi bangsa yang kuat dan merdeka. Selain itu juga berusaha untuk memperkuat dan memperbesar pasukan Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Barisan Pemuda), semakin menggerakkan tenaga kerja serta melipatgandakan produksi.
Adapun tindakan pemerintah militer Jepang terhadap atas pernyataan Chuo Sangi-in yakni pada tanggal 6 Februari 1945 mengharuskan penduduk membantu Jepang dengan mengerahkan harta benda untuk kepentingan perang. Dengan adanya hal ini justru membuat rakyat Indonesia semakin menderita dan miskin.
Sidang keenam Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 12 hingga 17 November 1944, membahas upaya untuk mempersatukan segala tenaga baik manusia maupun benda (hasil bumi) yang ada di Pulau Jawa, serta mempertinggi derajat rakyat menuju kearah perjuangan dan pembentukan Indonesia merdeka. Dalam upaya memperkuat segala tenaga yang ada yakni dengan cara pemberian senjata yang sesungguhnya bagi prajurit rakyat dalam latihan. Kemudian dalam rangka mempertinggi derajat rakyat diupayakan untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para rakyat prajurit. Namun, usulan dari Chuo Sangi-in ditolak oleh pemerintah militer Jepang, karena kekhawatirannya jika nantinya justru akan membahayakan posisi Jepang di Indonesia.
Sehubungan dengan semakin terjepit dan melemahnya keadaan Jepang pada peperangan melawan sekutu, Jepang tetap mempertahankan kekuasaanya atas Indonesia. Walaupun demikian janji kemerdekaan dikemudian hari bagi Indonesia telah diberikan, namun janji tersebut akan diwujudkan setelah Jepang menang melawan Sekutu. Sementara itu keadaan ekonomi dalam negeri yang semakin memburuk, sehingga menyebabkan keresahan rakyat yang mencapai puncak pada pemberontakan didaerah-daerah. Hal ini terjadi karena keinginan kuat rakyat Indonesia untuk segera terwujudnya kemerdekaan yang telah dijanjikan. Akhirnya pemerintah militer Jepang mulai memperlunak kekuasaan dan pengawasannya terhadap kehidupan politiik Indonesia. Hal ini terbukti pada sidang Chuo Sangi-in yang ketujuh, dimana para anggota Chuo Sangi-in sudah mulai bebas menyatakan kritik-kritik terhadap pemerintah militer Jepang.
Sidang ketujuh Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 21 hingga 26 Februari 1945, membahas tentang dasar usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam perang dan tercapainya kemerdekaan Indonesia dikemudian hari, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pemerintah militer Jepang. Adapun usaha utama yang hendak diupayakan yakni dengan memperbesar tenaga produktif agar dapat melipatgandakan hasil bumi dan pertahanan dalam upaya meraih kemengan Jepang dalam perang. Maka dari itu untuk mencapai Indonesia merdeka diperlukan adanya persatuan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang ini juga dikeluarkan mosi perjuangan dan semboyan ”merdeka atau mati”.
Kemunduran Jepang dalam Perang Pasifik.
Dalam tahun 1944, Jepang semakin terdesak di dalam Perang Asia Timur Raya. Kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan masalah-masalah lain yang dihadapi menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo. Ia kemudian digantikan oleh PM. Koiso pada tanggal 18 Juli 1944. Pada masa pemerintahan PM Koiso, situasi perang semakin memburuk. Jepang semakin terdesak untuk mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dalam berbagai pertempuran, pada tanggal 7 September 1944, PM Koiso mengeluarkan pemyataan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan di kemudian hari. Pernyataan ini kemudian terkenal dengan sebutan Janji Koiso.
Ketika Jepang semakin mengalami kekalahan dalam perang melawan sekutu, hal ini justru dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk dapat menentukan nasibnya sendiri dalam meraih kemerdekaan. Hal ini diwujudkan pada sidang kedelapan Chuo Sangi-in yang dilaksanakan pada tanggal 18 hingga 21 Juni 1945, membahas tentang bagaimana upaya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperkuat persiapan kemerdekaan Indonesia dengan cepat. Upaya yang dilakukan yakni mengadakan gerakan semangat (cinta tanah air, mengembangkan sifat keprajuritan), memperluas tentara Peta dengan cara penyempurnaan latihan pembelaan dan perang bagi rakyat. Selain itu Chuo Sangi-in mengusulkan agar diadakan perbaikan kehidupan rakyat didesa dan mengajukan mosi yang menyatakan ”agar kaum pemuda bersatu untuk menghancurkan musuh dan mempertahankan Indonesia”. Semua hal ini dipersiapkan untuk mencapai negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat secara penuh.
Permintaan Chuo Sangi-in untuk memasukkan para pemuda dan para pemimpin militer kedalam kepemimpinan nasional merupakan gambaran ketidaksabaran yang secara luas terasa dan semakin meningkat dikalangan oang Indonesia, karena keterlambatan Jepang dalam melaksanakan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebagai tindakan pemerintah militer Jepang atas usulan dari Chuo Sangi-in, maka dibentuklah ”Gerakan Rakyat Baru”, pada tanggal 2 Juli 1945. Dalam hal ini organisasi pemuda yang tergabung didalamnya harus tunduk pada perwakilan sipil (tokoh nasionalis, Jawa hokokai, masyumi) yang diangkat Gunseikan untuk bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang.
Namun, semua rencana Jepang akhirnya terkubur seiring perkembangan keadaannya, dimana Jepang mengalami kekalahan dalam perang melawan Sekutu. Pada tanggal 7 Agustus 1945 penguasa tinggi Wilayah Selatan Jepang mengambil inisiatif dari penguasa Jepang di Jakarta untuk mendirikan ”Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Ketika panitia ini mulai bersidang, Jepang telah menandatangani perjanjian Postdam, dimana Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia mencapai kemerdekaan, tanpa campurtangan dari Jepang. Dan dengan sendirinya Chuo Sangi-in bentukan Jepang pun berakhir kegiatannya, tanpa suatu pembubaran secara resmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar