Kondisi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Seluruh bangsa di dunia berhak untuk memperoleh kemerdekaannya. Untuk mempertahankan hak kemerdekaan itu, bangsa-bangsa di dunia rela mengorbankan harta, benda, bahkan nyawa. Hal ini pula yang terjadi di bumi Indonesia.
Setelah meraih kemerdekaannya, bangsa Indonesia bertekad menjaga kemerdekaan yang telah berhasil diraih itu. Bentuk negara serikat yang disepakati berdasarkan Konferensi Meja Bundar, ternyata bukanlah cita-cita bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pun mulai berbenah diri untuk dapat kembali dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perekonomian Indonesia Setelah Pengakuan Kedaulatan.
Sejak memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda, bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan akibat ketentuan-ketentuan dalam Konferensi Meja Bundar, situasi politik yang belum stabil, dan adanya kenyataan bahwa perusahaan swasta besar dan bank pada saat itu masih dikuasai oleh orang-orang Belanda.
Untuk mengatasi krisis, Kabinet Sukiman (1951–195) menjalankan kebijakan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Nasionalisasi dapat diartikan sebagai tindakan untuk menjadikan sesuatu kekayaan milik asing menjadi milik negara. Kebijakan nasionalisasi De Javasche Bank dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang nasionalisasi De Javasche Bank Nomor 24 Tahun 1951. Sebelumnya, pemerintah telah memberhentikan Presiden De Javasche Bank, Dr. Howink dan mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara. Nasionalisasi De Javasche Bank melengkapi kepemilikan pemerintah terhadap bank-bank peninggalan Belanda.
Sejak tahun 1950 bangsa Indonesia mulai meninggalkan sistem perekonomian kolonial dan menggantinya dengan sistem ekonomi nasional. Pelopor perokonomian nasional adalah Drs. Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ekonomi bangsa Indonesia harus dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong. Pemikiran untuk menyusun perekonomian nasional dilanjutkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Beliau menyatakan bahwa dalam alam kemerdekaan perlu diadakan kelas pengusaha melalui Gerakan Benteng. Gerakan Benteng merupakan kebijakan untuk melindungi pengusaha-pengusaha pribumi karena desakan pengusaha kuat bermodal besar yang berasal dari golongan nonpribumi. Para pengusaha pribumi mendapat lisensi (semacam hak istimewa) dalam dunia bisnis.
Faktor – faktor yang menyebabkan keburukan ekonomi
• Adanya blokade ekonomi oleh pihak Belanda
• Inflasi yang tinggi
• Kas negara kosong
• Eksploitasi besar – besaran di masa penjajahan
• Tanah pertanian rusak.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan.
Pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi sangatlah kompleks. Berikut ini masalah-masalah tersebut.
1. Belum terwujudnya kemerdekaan ekonomi
Kondisi perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan masih dikuasai oleh asing. Untuk itu para ekonom menggagas untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu tokoh ekonom itu adalah Sumitro Djoyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekasnya ditumbuhkan kelas pengusaha. Pengusaha yang bermodal lemah harus diberi bantuan modal. Program ini dikenal dengan gerakan ekonomi Program Benteng. Tujuannya untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Ternyata program benteng mengalami kegagalan. Banyak pengusaha yang menyalahgunakan bantuan kredit untuk mencari keuntungan secara cepat.
2. Perkebunan dan instalasi-instalasi industri rusak
Akibat penjajahan dan perjuangan fisik, banyak sarana prasarana dan instalasi industri mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan kemacetan dalam bidang industri, kondisi ini mempengaruhi perekonomian nasional.
3. Jumlah penduduk meningkat cukup tajam
Pada pasca pengakuan kedaulatan, laju pertumbuhan penduduk meningkat. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa. Tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada peningkatan impor makanan. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja meningkat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya urbanisasi.
4. Utang negara meningkat dan inflasi cukup tinggi.
Setelah pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Utang Indonesia meningkat karena Ir. Surachman (selaku Menteri Keuangan saat itu) mencari pinjaman ke luar negeri untuk mengatasi masalah keuangan negara. Sementara itu, tingkat inflasi Indonesia meninggi karena saat itu barang-barang yang tersedia di pasar tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, harga barang-barang kebutuhan naik. Untuk mengurangi inflasi, pemerintah melakukan sanering pada tanggal 19 Maret 1950. Sanering adalah kebijakan pemotongan uang. Uang yang bernilai Rp,5,- ke atas berlaku setengahnya.
5. Defisit dalam perdagangan internasional
Perdagangan internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan.
6. Kekurangan tenaga ahli untuk menuju ekonomi nasional
Pada awal pengakuan kedaulatan, perusahaan-perusahaan yang ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadikusuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. Kebijakan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Langkahnya dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga bangsa Indonesia.
7. Rendahnya Penanaman Modal Asing (PMA) akibat konflik Irian Barat
Akibat konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia.
8. Terjadinya disinvestasi yang tajam dalam tahun 1960-an
Pada tahun 1960-an terjadi disinvestasi yang cukup tajam akibat konflik Irian Barat. Akibatnya kapasitas produksi menurun karena terjadi salah urus dalam perusahaan.
Usaha - Usaha Untuk Mengatasi Keterpurukkan.
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.m Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.m Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.m Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya:
- Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
- Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
- Penanaman kembali tanah kosong
Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Pada Masa Demokrasi TerpimpinA. Gunting Syarifudin Program ini adalah program yang di adakan oleh Syarifuddin Prawiranegara yang bertujuan untuk memulihkan defisit anggaran sebesar Rp 5, 1 miliar. Setiap pecahan nila Rp 2,50 di potong hingga setengahnya sehingga peredaran uang di luar yang menyebabkan Belanda percaya terhadap indonesia dan memberikan pinjaman uang.B. Sistem Ekonomin Benteng Sistem ini dicetuskan oleh Sumitro Djojohadikusumo. Sistem ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.
Pada Masa Demokrasi TerpimpinA. Gunting Syarifudin Program ini adalah program yang di adakan oleh Syarifuddin Prawiranegara yang bertujuan untuk memulihkan defisit anggaran sebesar Rp 5, 1 miliar. Setiap pecahan nila Rp 2,50 di potong hingga setengahnya sehingga peredaran uang di luar yang menyebabkan Belanda percaya terhadap indonesia dan memberikan pinjaman uang.B. Sistem Ekonomin Benteng Sistem ini dicetuskan oleh Sumitro Djojohadikusumo. Sistem ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.
Antara lain program dalam sistem ini adalah :
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia
- Pengusaha yang bermodal lemah diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi diberikan bantuan kredit.
- Pengusaha pribumi secara bertahap akan berkembang menjadi maju
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia Ini terjadi pada 5 Desember tahun 1951 berdasarkan UU No.24 tahun 1951 dengan tujuan untuk menaikkan pendapatan, menurunkan ekspor, dan melakukan penghematan. Sedangkan perubahan nama de javasche bank menjadi bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi terjadi setelah dikeluarkannya UU No.11 tahun 1953 dan Lembaran Negara No.40 tentang UU Pokok BI.D. Sistem Ekonomi Ali Baba Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I).
Tujuan dari program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar